🌸 Hafalan Shalat Delisa: Kisah Kecil dari Ombak Besar
- Sasteria
- Sep 5
- 5 min read
Updated: 9 hours ago
Pendahuluan
Ada cerita yang tak pernah pudar meski waktu terus berjalan. Cerita tentang seorang anak kecil yang hidup sederhana di tepi laut, kehilangan hampir seluruh keluarganya dalam sekejap, namun mampu bangkit dengan kekuatan doa. Cerita itu adalah kisah Delisa, gadis kecil dari Lhok Nga, Aceh, yang dikenal lewat novel Hafalan Shalat Delisa karya Tere Liye.
Dalam tulisan ini, kita akan menelusuri ulang perjalanan Delisa: dari masa kecilnya yang riang, tragedi tsunami yang merenggut segalanya, hingga perjuangannya berdiri kembali dengan satu kaki dan hati yang penuh doa.
Bab 1: Kehidupan Sederhana di Lhok Nga
Delisa lahir dan tumbuh di sebuah desa nelayan bernama Lhok Nga, Aceh. Desa itu sederhana, namun penuh kehangatan. Pagi hari disambut dengan azan subuh dari surau kecil, lalu derap langkah para nelayan yang pulang dari laut dengan perahu penuh ikan. Anak-anak berlari di pasir pantai, ibu-ibu menyiapkan sarapan sambil bercengkerama.
Di sebuah rumah kayu kecil, hiduplah keluarga bahagia. Abi Usman, seorang pekerja lepas pantai, jarang berada di rumah karena harus bekerja berbulan-bulan di anjungan minyak. Ummi Salamah, sang ibu, adalah sosok lembut dan penuh kasih sayang yang mengasuh empat putrinya: Fatimah, Aisyah, Zahra, dan si bungsu, Delisa.
Delisa berbeda dari kakak-kakaknya. Ia paling ceria, kadang bandel, dan sering membuat Ummi tersenyum lelah. Tapi di balik itu, ia punya hati yang tulus dan selalu ingin membuat Ummi bangga.
Bab 2: Hadiah Sebuah Kalung
Suatu sore, Ummi mengumpulkan anak-anaknya. Ia mengumumkan bahwa giliran Delisa untuk melafalkan hafalan shalat sudah dekat. Jika berhasil, Ummi berjanji akan memberi hadiah spesial: sebuah kalung emas dengan nama Delisa terukir di sana.
Mata Delisa berbinar mendengarnya. Bagi anak kecil sepertinya, hadiah itu begitu berharga. Ia pun berlatih keras setiap hari, mengulang bacaan takbir, al-Fatihah, doa ruku’ dan sujud, meski sering salah atau tertukar. Kakak-kakaknya menggoda, kadang menertawakan kesalahannya, tapi Ummi selalu menenangkan.“Pelan-pelan, Delisa. Shalat bukan untuk hadiah, tapi untuk Allah.”
Delisa mengangguk, meski dalam hatinya tetap membayangkan kalung emas itu berkilau di lehernya.
Bab 3: Pagi yang Menentukan
Minggu pagi, 26 Desember 2004, matahari bersinar cerah, ombak berkejaran di pantai, dan desa sibuk dengan rutinitas seperti biasa. Di rumah kecilnya, Delisa bangun paling awal. Ia mandi, mengenakan baju putih bersih, dan mengepang rambutnya dengan rapi.
“Ummi, hari ini Delisa siap!” katanya penuh semangat.Ummi tersenyum, mencium keningnya. “Alhamdulillah. Nanti setelah sarapan, Ummi dengar hafalanmu.”
Suasana pagi itu penuh canda dan tawa. Fatimah membantu di dapur, Aisyah menyiapkan piring, Zahra menggoda Delisa yang sibuk menata jilbabnya. Tak seorang pun tahu, itulah pagi terakhir mereka bersama.
Bab 4: Ombak Raksasa
Sekitar pukul delapan, bumi bergetar hebat. Rumah berderak, gelas pecah, orang-orang berteriak. “Gempa! Keluar semua!” teriak Ummi.
Belum sempat lega, suara lain terdengar dari arah pantai.“Air laut naik! Tsunami! Lariiii!”
Ummi menoleh, dan hatinya terhenti. Dari kejauhan, terlihat dinding air raksasa menjulang tinggi, meluncur cepat ke arah daratan. Dengan panik, ia menggenggam tangan anak-anaknya dan berlari.
Tapi langkah kecil Delisa kalah cepat dengan ombak. Dalam sekejap, air hitam pekat menyapu desa. Rumah, pohon, perahu, dan manusia terseret tanpa ampun.
Delisa terangkat tinggi, terbanting, terombang-ambing di pusaran arus. Tangannya lepas dari Ummi. Air asin memenuhi paru-parunya. Ia sempat berteriak, “Ummi!” tapi suaranya tenggelam dalam gemuruh ombak.
Gelap.
Bab 5: Sunyi Setelah Bencana
Delisa terbangun beberapa hari kemudian di posko darurat. Tubuhnya penuh luka, kakinya hancur, wajahnya pucat. Ia mencari Ummi, Fatimah, Aisyah, Zahra. Namun hanya relawan asing yang menenangkannya.
Hari demi hari berlalu. Kabar pahit akhirnya datang: Ummi dan ketiga kakaknya meninggal dunia. Delisa menangis tanpa suara. Dunia kecilnya runtuh.
Abi akhirnya pulang dari laut. Saat melihat putrinya masih hidup, ia menangis keras, memeluk tubuh kecil itu erat-erat. “Alhamdulillah, Abi masih punya Delisa…”
Namun penderitaan belum selesai. Luka di kaki kanan Delisa parah dan harus diamputasi. Ia kini hanya punya satu kaki.
“Abi… kenapa kaki Delisa hilang?” tanyanya polos.Abi menjawab dengan suara parau, “Karena Allah sayang sama Delisa. Kaki hilang, tapi hati Delisa tetap utuh.”
Bab 6: Belajar Hidup Lagi
Delisa mulai belajar berjalan dengan kaki palsu. Hari-harinya penuh air mata. Setiap kali jatuh, ia ingin menyerah. Teman-temannya kadang mengejek, “Delisa pincang! Delisa jalannya aneh!”
Namun Abi selalu menguatkan. “Delisa kuat. Ummi pasti bangga melihatmu berjuang.”
Delisa menggigit bibirnya, lalu bangun lagi. Satu langkah… jatuh. Dua langkah… jatuh. Lima langkah… berdiri. Hingga suatu hari ia berhasil berjalan sepuluh langkah tanpa jatuh. Abi tersenyum, memeluknya erat. Untuk pertama kalinya sejak tsunami, Delisa merasa bangga pada dirinya sendiri.
Bab 7: Cahaya dalam Doa
Malam-malam di pengungsian dingin dan sepi. Di bawah cahaya lampu temaram, Delisa duduk di sajadah kecil. Ia melafalkan bacaan shalat yang dulu diajarkan Ummi.
“Allahu akbar…” suaranya lirih, penuh tangis.
Jika dulu hafalannya untuk mendapatkan kalung, kini setiap lafaz adalah doa. Setiap sujud membuatnya merasa Ummi hadir di sampingnya, membetulkan bacaannya dengan lembut.
Kalung emas itu hilang, tapi Delisa menemukan hadiah lain: doa yang tak pernah padam, iman yang meneguhkan, dan cinta Ummi yang abadi.
Bab 8: Aceh Bangkit
Tahun-tahun berlalu. Aceh yang hancur perlahan bangkit. Rumah-rumah baru dibangun, sekolah berdiri, masjid ramai kembali.
Abi akhirnya menikah lagi. Delisa sempat merasa asing, tapi kemudian belajar menerima. Kehadiran ibu baru dan adik-adik tiri membawa warna baru, meski di hatinya Ummi tetap tak tergantikan.
Masyarakat sering menyebut nama Delisa ketika bicara tentang kesabaran. “Kalau anak sekecil itu bisa tabah, kenapa kita tidak?” kata orang-orang.
Delisa tumbuh menjadi gadis remaja yang kuat. Meski berjalan dengan kaki palsu, senyumnya tetap ada. Ia mengajar anak-anak kecil mengaji, meneruskan warisan Ummi.
Bab 9: Warisan Ummi
Bagi Delisa, warisan Ummi bukanlah kalung emas, bukan rumah, bukan harta. Warisan Ummi adalah shalat, doa, dan keteguhan hati.
Setiap kali ia berdiri di sajadah, ia merasa Ummi masih bersamanya. Ia tidak lagi mengejar hadiah duniawi. Ia sudah menemukan hadiah yang sesungguhnya: hati yang kuat, iman yang kokoh, dan cinta yang tak bisa ditenggelamkan ombak.
Penutup: Apa yang Kita Pelajari dari Delisa
Kisah Delisa adalah cermin untuk kita semua.
Bahwa hidup bisa berubah dalam sekejap.
Bahwa kehilangan bisa menghancurkan, tapi juga bisa menguatkan.
Bahwa doa bukan sekadar hafalan, tetapi sumber kekuatan sejati.
Bahwa cinta seorang ibu tidak pernah benar-benar hilang.
Delisa mengajarkan kita bahwa meski dunia runtuh, doa bisa membuat kita berdiri kembali.
🌸 Kutipan Inspiratif dari Kisah Delisa
“Kaki Delisa hilang, tapi hati Delisa tetap utuh. Dan hati yang utuh itulah yang membuat Ummi bangga.”
“Kalung emas bisa hilang ditelan ombak, tapi doa tidak pernah tenggelam.”
“Delisa tidak lagi mengejar hadiah dunia, karena ia menemukan hadiah sejati: kekuatan doa.”
“Setiap sujud adalah cara Delisa merasakan kehadiran Ummi di sisinya.”
“Tsunami merenggut rumah, keluarga, dan tubuh kecilnya. Tapi tidak ada yang bisa merenggut imannya.”
“Doa adalah hadiah paling indah yang ditinggalkan seorang ibu.”
“Delisa kecil mengajarkan pada dunia: ketabahan tidak ditentukan oleh usia, tapi oleh hati yang percaya.”
“Di balik luka yang dalam, selalu ada cahaya yang lahir dari doa.”
“Kalau anak sekecil Delisa bisa tabah, kenapa kita tidak?”
“Shalat bukan hafalan semata. Shalat adalah doa yang membuat manusia mampu bertahan dari badai hidup.”
Comments