top of page

🌿 Pemburu Rimba — Nafas Hutan

  • Writer: Sasteria
    Sasteria
  • Jul 4
  • 3 min read

Updated: 6 days ago

Pertembungan seorang askar Dayak dengan Predator, pemburu dari langit di jantung Borneo


🌲 Kesunyian Rimba


Hutan Kalimantan selalu hidup. Dari siang hingga malam, suara serangga, burung, dan katak membentuk simfoni alam yang tidak pernah berhenti. Namun malam itu, sesuatu berbeda. Bunyi rimba menghilang, seolah-olah seluruh hutan menahan napas.


Kopral Lintar Sangiang, seorang prajurit Dayak Ngaju yang bertugas di barisan TNI, berhenti berjalan. Tubuhnya tegap, wajahnya keras, dan di lengan serta dadanya terlihat tato Dayak yang berkilau samar terkena cahaya bulan.


“Kenapa diam, Lintar?” tanya Sersan Joko, sahabatnya.


Lintar menunduk, meneliti tanah. Di sana, seekor babi hutan tergeletak mati, tubuhnya terbelah rapi seakan dibedah oleh pisau bedah. Tidak ada bekas gigitan harimau, tidak ada cakaran beruang madu. Luka itu terlalu sempurna.


Lintar menghela napas panjang. “Ini bukan kerja manusia… dan bukan juga binatang.”


Joko menelan ludah, merasakan hawa dingin merambat di kulitnya.


ree

⚔️ Antara Askar dan Nenek Moyang


Keesokan malam, di kem perbatasan, Kolonel Ahmad Faizal menertawakan laporan Lintar.

“Hantu? Roh hutan? Kopral, kau sedang berkhayal. Kita berperang dengan manusia, bukan dengan bayangan.”


Namun Lintar tahu apa yang ia rasakan. Ia meninggalkan tenda, menuju ke sebuah rumah panjang di tepi sungai. Di sana tinggal Tating Ranying, seorang perempuan Ngaju Dayak. Ia mengenakan tapih tenun dengan manik-manik berwarna di dadanya.


Di depan api unggun, Tating menghaluskan akar kuning dengan batu, mencampurnya dengan arang. Dengan sikat kayu, ia menggambar panyugu — spiral hitam di dada Lintar.


“Tanda ini tidak menghentikan peluru,” katanya lembut. “Tetapi ia mengingatkan rohmu di mana ia harus berdiri ketika bayangan datang.”


Lintar mengangguk, merasakan beban di dadanya sedikit terangkat.


ree

🔥 Pemburuan Pertama


Rondaan pagi itu hancur berantakan. Suar meledak, kabut merah-putih memenuhi hutan. Para prajurit menembak membabi buta, jeritan memenuhi udara.


Lintar tetap tenang. Ia menembakkan senapannya ke arah kesunyian. Tiga peluru.


Tiba-tiba terdengar raungan asing. Darah berwarna hijau bercahaya menetes ke daun-daun.


Lintar mendongak. Di antara kabut, dua mata bercahaya menatapnya. Tatapan itu bukan amarah. Itu adalah pengakuan.


ree

💥 Api di Kem


Malam turun dengan badai. Plasma biru meledakkan tong bahan bakar, menara pengawas terbakar, tenda-tenda runtuh. Prajurit berlari panik, diterkam satu per satu.


Lintar berdiri di tengah api, mandau di tangannya. Di seberang kobaran api, makhluk itu menatapnya. Tubuhnya tinggi besar, wajahnya ditutupi topeng logam, rahangnya terbuka dengan suara klik-klik mengerikan.


Mereka tidak menyerang. Mereka hanya saling menatap. Pemburu telah menemukan mangsanya. Dan mangsa telah siap menjadi pemburu.


ree

🌌 Suara Leluhur


Lintar pergi sendirian ke hutan. Di bawah pohon belian raksasa, ia berlutut, mandau terbaring di pangkuannya. Kabut berputar di akar.


Di sana, ia mendengar suara kakeknya:


“Kamu prajurit, tapi juga anak rimba. Gunakan keduanya. Kesabaran lebih tajam daripada amarah.”


Tating datang, membawa bakul rotan berisi garam, arang, bulu ayam, dan akar kuning. Ia mengikatnya menjadi jimat kecil. “Ini bukan untuk menyembunyikanmu. Ini untuk mengingatkanmu, leluhur berjalan di sampingmu.”


ree

⚔️ Pertempuran Terakhir


Badai mengamuk. Petir menyambar langit. Dari kabut, Predator muncul. Ia menonaktifkan meriam plasmanya, menantang duel.


Lintar berdiri, tubuhnya penuh tanda panyugu, tato Dayak di lengannya berkilau samar. Di tangannya, mandau bersinar oleh kilatan petir.


Pertarungan itu brutal. Bilah besi melawan bilah asing, lumpur tercampur darah. Lintar jatuh, bangkit, jatuh lagi. Hingga akhirnya, dengan teriakan leluhur, ia menghujamkan mandau ke dada makhluk itu.


Predator terhuyung, darah hijaunya memancar. Ia menatap Lintar — bukan dengan benci, tapi dengan hormat. Kemudian ia menekan tombol di pergelangan tangannya. Bunyi bip berbunyi semakin cepat.


Lintar menyeret Joko ke sungai. Ledakan putih menyapu hutan.


ree

🕯️ Setelah Pertarungan


Hutan terbakar. Pohon-pohon patah, asap menjulang. Para penyintas duduk lemah, mata kosong.


Kolonel Faizal berusaha menutupi rasa takutnya. “Kita bertahan,” katanya. Tetapi Lintar tahu itu bohong.


Di tepi sungai, ia duduk dengan mandau di pangkuannya. Tating Ranying duduk di sampingnya.


“Kamu membawa dua kematian,” bisiknya. “Kematian mereka… dan kematiannya.”

Lintar menatap ke dalam rimba. Ia tahu: ini bukan kemenangan. Ini hanyalah pengakuan.


ree

🌿 Renungan — Semangat Pemburu Rimba


Dalam kisah ini, Pemburu Rimba bukan sekadar makhluk asing. Ia adalah lambang roh pemburu hutan dalam legenda Dayak.


Lintar selamat bukan karena senjata modern, tetapi karena keseimbangan:


  • Disiplin seorang prajurit.

  • Kesabaran seorang anak Dayak.


Mandau di tangannya menjadi jembatan antara manusia dan leluhur. Dan hutan terus bernapas. Karena perburuan tidak pernah berakhir. Ia hanya menunggu.


ree





Join My Mailing List

Thanks for submitting!

  • Facebook
  • Instagram
  • Pinterest
  • X
bottom of page